Sabtu, 06 Agustus 2011

BALI; APEC DAN AGRARIA*

Oleh: I Wayan Gendo Suardana**
Tanah adalah karunia Tuhan Yang Maha Esa bagi rakyat, bangsa dan Negara Indonesia, yang harus diusahakan, dimanfaatkan, dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Artinya tanah secara tegas mempunyai fungsi sosial sebagaimana yang diamanatkan dalam Undang Undang Nomor 5 tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria atau lebih dikenal dengan Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA). Demikian pula dalam hal negara memberikan hak atas tanah atau Hak Pengelolaan kepada Pemegang Hak untuk diusahakan, dipergunakan, dan dimanfaatkan serta dipelihara dengan baik selain untuk kesejahteraan bagi Pemegang Haknya juga harus ditujukan untuk kesejahteraan masyarakat, bangsa dan negara. Tindakan-tindakan Penelantaran tanah di pedesaan dan perkotaan, selain merupakan tindakan yang tidak bijaksana, tidak ekonomis (hilangnya peluang untuk mewujudnyatakan potensi ekonomi tanah), dan tidak berkeadilan, serta juga merupakan pelanggaran terhadap kewajiban yang harus dijalankan para Pemegang Hak atau pihak yang telah memperoleh dasar penguasaan tanah.
Karenanya Pemegang Hak dilarang menelantarkan tanahnya. Jika Pemegang Hak menelantarkan tanahnya maka Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria telah mengatur akibat hukumnya yaitu hapusnya hak atas tanah yang bersangkutan dan pemutusan hubungan hukum serta ditegaskan sebagai tanah yang dikuasai langsung
oleh negara. Untuk memastikan hal tersebut, pemerintah mengeluarkan peraturan pemerintah yang secara khusus dibuat untuk penertiban dan pendayagunaan tanah terlantar mulai dari PP 36 th1998 yang selanjutnya diganti dengan PP 11 th 2010. Semangat dari penerbitan peraturan pemerintah adalah melakukan pencegahan dan penertiban terhadap tindakan penelantaran tanah untuk mengurangi atau menghapus dampak negatifnya. Mengingat pencegahan, penertiban, dan pendayagunaan tanah terlantar merupakan langkah dan prasyarat penting untuk menjalankan program-program pembangunan nasional, terutama di bidang agraria yang telah diamanatkan oleh Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria, serta Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional.
Penelantaran tanah juga berdampak pada terhambatnya pencapaian berbagai tujuan program pembangunan, rentannya ketahanan pangan dan ketahanan ekonomi nasional, tertutupnya akses sosial-ekonomi masyarakat khususnya petani pada tanah, serta terusiknya rasa keadilan dan harmoni sosial (vide penjelasan PP 11 tahun 2010 tentang Penertiban dan Pendayagunaan Tanah Terlantar). Dengan demikian dapat dikatakan bahwa esensi terbit PP No. 11 Tahun 2010 adalah untuk mewujudkan keadilan agraria dengan menolak adanya monopoli hak penguasaan tanah yang menyebabkan tertutupnya akses sosial-ekonomi masyarakat atas tanah.
Banyak Terlantar
Permasalahan agraria juga massif terjadi di Bali, terlebih Propinsi Bali adalah salah satu pusat pariwisata dunia. Laju pariwisata di Bali seiring sejalan dengan pertumbuhan industri pariwisata khususnya sektor akomodasi pariwisata.Tidak dapat dipungkiri bahwa perkembangan sector akomodasi pariwisata sejak dicanangkan segitiga emas wisata sesuai hasil studi SCETO telah merambah sedemikian cepat. Kebutuhan terhadap lahan semakin merajalela. Terlebih setelah itu, kebijkan dari gubernur Bali I.B. Oka memutuskan kawasan wisata menjadi 21 kawasan. Dengan demikian kawasan wisata di Bali menjadi 1, 437 km2 -hampir seperempat luas Pulau Bali-memicu penguasaan tanah-tanah milik orang Bali oleh investor asing maupun domestik
Penguasaan tanah dikawasan strategis dan diwilayah yang dipandang strategis di masa depan untuk dibangun fasilitas pariwisata termasuk akomodasi pariwista tentu saja menjadi incaran setiap investor. Praktek spekulasi lahan adalah sesuatu yang berlangsung secara terbuka mengingat saat itu Orde Baru dengan watak pemerintahan yang fasis begitu kuatnya, dimana investor yang punya koneksi khusus dengan kekuasaan akan mendapatkan keinginannya walaupun harus mengorbankan kepentingan masyarakat.
Strategi spekulasi tanah tentu harus murah, maka pilihan yan paling rasional adalah melakukan penguasaan tanah dengan memanipulasi roh UUPA dengan memohon penguasaan tanah kepada negara c.q pemerintah dengan dalih dikelola baik dengan HGU maupun HGB. Seringkali penguasaan lahan itu mengabaikan bahwa ada masyarakat yang sejak lama secara turun temurun mendiami tanah tersebut. dengan intervensi aktor-aktor negara, investor kan melakukan pembebasan tanah dengan legitimasi ijin penguasaan tanah dari negara disertai alasan akan dilakukan pembangunan.
Padahal faktanya tanah tersebut setelah dikuasai sejatinya tidak dikelola tetapi dibiarkan begitu saja sembari menunggu waktu yang tepat untuk dialihkan haknya atau dibangun setelah pemegang hak mempunyai modal untuk membangun sesuai dengan ijin prinsip pengelolaannya. Sehingga tanah yang diprediksi akan berpotensi besar bagi investasi pariwisata tidak dikuasai pihak lain ataupun tyidak dikuasai oleh warga negara yang menetap dari turun temurun bahkan jauh sebelum si pemegang hak itu mendapatkan hak penguasaan tananhnya.
Keadaan inilah yang banyak terjadi di Bali, langgam penguasaan tanah ini sepertinya megikuti langgam studi SCETO sehingga penguasaan tersebut banyak ditemui di pesisir Bali dengan konflik agrarian dengan masyarakat yang menempati tanah tersebut secara turun temurun sebelum lahan tersebut dikuasai oleh investor.
Tercatat di sepanjang pesisir Tabanan di pantai Pangkung Tibah, di Denpasar: Selanjutnya di Denpasar penguasaan tanah dengan HGB yang diberikan kepada PT. Bali Turtle Development Island (PT. BTID) untuk pengelolaan Pulau Serangan seluas 112 Ha yang ditambahkan dengan pengerukan pantai mencapai kurang lebih 491 Ha. Penguasaan tanah ini berkonflik dengan Masyrakat Pulau Serangan bahkan pembebasan tanahnya memakai aparat negara.Di daerah Singaraja tepatnya daerah bali barat penguasaan tanah HGU oleh PT. Margarana yang berkonflik dengan masyarakat Sumber Kelampok dan Masyarakat Sendang Pasir.
Di daerah Badung; dari pantai Nyanyi, dan di pesisir Jimbaran seperti tanah yang dikuasai HGB oleh PT. Citratama Selaras (PT. CTS) seluas 174,0020 Ha dari 280 Ha ijin lokasi yang didapat. Sejak tahun 1992 dilakukan pembebasan tanah dimana investor berkonflik dengan masyarakat Petani Dompa Jimbaran sampai saat ini.
Hampir seluruh tanah-tanah yang dikuasai oleh investor tersebut sampai saat ini belum dimanfaatkan, kalaupun dimanfaatkan ternyata tidak maksimal bahkan cenderung mangkrak dan malah menimbulkan kerusakan lingkungan setidak-tidaknya menambah beban ekologis pulau Bali. Sebagai contoh tanah yang dikuasai oleh PT. CTS tersebut telah dikuasai selama 17 tahun dan tidak dipergunakan sesuai peruntukannya. Disatu sisi Petani Penggarap menjadi menggantung nasibnya dan tidak pernah berdaulat atas tanah yang didiami dari turun temurun.
Seharusnya terhadap tanah-tanah yang secara faktual telah dilantarkan oleh pemegang hak, maka akan menimbulkan akibat hukum sebagaimana diamanatkan oleh UUPA yang selanjutnya secara tegas diatur dalam PP 36 tahun 1998 tentang penertiban dan pendayagunaan tanah terlantar dan selanjutnya PP 11 tahun 2010 tentang penertiban dan pendayagunaan tanah terlantar. Bukannya dibiarkan tetap dimilik oleh para pemegang hak yang jelas tidak tunduk terhadap UUPA sehingga merugikan negara dan masyarakat asli yang turun temurun mendiami tempat itu dan rakyat petani penggarap yang harus meratapi masa depan hidupnya karena segera akan tergusur dari tanah kelahiranya.
* Tulisan ini pernah dimuat di Rubrik Opini-Harian Bali Post, Senin, 25 Juli 2011, hal. 6
** Penulis adalah Ketua Dewan Daerah WALHI-Bali (Wahana Lingkungan Hidup Indonesia-Bali)
*** Repost oleh : YUSUF SOLIHIN

Tidak ada komentar:

Posting Komentar